“ Meningkatkan Pengelolaan Keuangan Daerah ”

Meningkatkan Pengelolaan Keuangan Daerah

Kekuasaan negara berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 kini terdesentralisasi seluas-luasnya ke daerah. Konsekuensinya kekuasaan fiskal yang turut didesentralisasi ke daerah berpengaruh terhadap semakin besarnya aliran keuangan negara ke daerah, baik melalui Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), maupun Dana Alokasi Khusus (DAK).

Ketiga unsur keuangan daerah tersebut merupakan komponen pendapatan daerah yang terpenting sebagai bagian dari dana perimbangan. Jika mencermati sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagian besar dana perimbangan tersebut diserahkan kembali ke daerah sebagai pendapatan daerah.

Contohnya dari DBH yang bersumber dari pajak, khususnya pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), 90 persen dari penerimaan kedua sumber pendapatan tersebut diserahkan kembali kepada daerah dengan 64,8 persen di antaranya diperuntukkan bagi kabupaten/kota pemungutnya, 16,2 persen dikembalikan ke provinsi yang bersangkutan, dan sembilan persen untuk biaya pemungutan.

Sisanya sebanyak 90 persen bagian pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan ke seluruh kabupaten dan kota berdasarkan realisasi PBB tahun berjalan. Pola sistem desentralisasi fiskal semacam itu secara logika telah memperlihatkan bahwa daerah memiliki kewenangan pengelolaan keuangan daerah yang besar.

Besarnya kewenangan daerah dalam mengelola keuangan daerah tersebut ternyata belum berjalan secara sinergis dengan upaya membangun sistem akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Salah satu sumber menyebutkan bahwa sekira 80–90 persen kepala daerah terjerat kasus korupsi di berbagai daerah.

Apakah korupsi yang terjadi di daerah yang membelit para kepala daerah tersebut disebabkan masih rendahnya pemahaman mengenai sistem pengelolaan keuangan daerah? Atau justru sebenarnya sistem pemilukada yang high cost yang menjadi faktor penyebabnya? Hal ini sangat penting untuk dilakukan studi yang lebih intensif.

Sebab sistem pembagian kekuasaan yang kini meletakkan lokus utama kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan berada di daerah seharusnya berjalan seiring dengan upaya untuk membangun tata kelola pemerintahan daerah yang semakin baik.

Pengawasan DPRD

Jika mencermati Permendagri Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPRD terhadap Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK, sebenarnya terlihat telah ada upaya untuk memperkuat sistem perimbangan kekuasaan (checks and balances) di daerah.

DPRD dapat melakukan sistem pengawasan yang efektif kepada eksekutif di daerah dengan mengacu pada laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK.

Jika LHP menghasilkan opini tidak wajar (adversed opinion), DPRD dapat meminta kepada kepala daerah untuk menegur, memberikan saran dan/atau arahan. Sifatnya untuk memotivasi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk memperbaiki sistem tata kelola keuangan daerah.

Mekanisme tersebut sebenarnya dapat dipergunakan sebagai upaya strategis untuk memperbaiki sistem dan tata kelola keuangan daerah secara bertahap. Karena berdasarkan PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, kepala daerah diposisikan sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah.

Secara organisasi kepala daerah bertanggung jawab sepenuhnya atas sistem pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan oleh kepala SKPD sebagai pejabat pengelola keuangan daerah.

Audit Daerah

Kepala daerah perlu merespons setiap temuan BPK tersebut, baik yang berupa opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion) yang menjadi semacam deteksi dini (early warning system) pengelolaan keuangan daerah yang kurang baik, opini tidak wajar (adversed opinion) atau bahkan pernyataan BPK menolak memberikan opini (disclaimer opinion).

Tidak efektifnya tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK tersebut berdasarkan data saat ini menyebabkan masih minimnya daerah yang memiliki sistem keuangan daerah dengan LHP BPK wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion). Dari hasil audit BPK semester I/2010 berdasarkan pemeriksaan keuangan atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) tahun 2009 pada 348 dari 498 LKPD provinsi/kabupaten/ kota, hasilnya hanya 14 daerah yang mampu memenuhi opini WTP.

Ke-14 daerah itu antara lain Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Nagan Raya,Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten 42 Kaur, dan Kabupaten Muko-Muko. Selain itu, ada Kabupaten Tangerang, Kabupaten Gorontalo, Kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe, Kota Sabang, Kota Sungai Penuh, Kota Yogyakarta, dan Kota Tangerang.

Fenomena masih sangat minimnya jumlah daerah yang memperoleh hasil audit WTP tersebut merupakan sesuatu yang memprihatinkan. Tidak mengherankan jika pada 2011 ini saja ada 20 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dan diproses KPK.

Pemerintah pada 2010 berupaya memperkuat basis pengelolaan keuangan daerah dengan mengeluarkan PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah yang mengarahkan penerapan SAP berbasis aktual.

Aturan itu dimaksudkan untuk semakin menertibkan sistem tata kelola keuangan daerah. Selain itu, amendemen yang kedua terhadap Permendagri No 13 Tahun 2006 melalui Permendagri No 21 Tahun 2011 dalam pengelolaan keuangan daerah diharapkan dapat mendorong kapasitas daerah untuk semakin memperbaiki tata kelola keuangannya.

Guna mengefektifkan semua langkah tersebut di atas perlu pengimbangan dengan meningkatkan integritas para penyelenggara kekuasaan di daerah dan perbaikan kualitas sistem pemilukada baik dari segi tata kelola, kultur maupun perilaku para aktor politik lokal yang bebas dari politik uang.

http://economy.okezone.com/read/2011/09/05/279/498789/meningkatkan-pengelolaan-keuangan-daerah
DR W RIAWAN TJANDRA
Direktur Pascasarjana dan Dosen FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(Koran SI/Koran SI/ade)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar