Seiring dengan melesatnya harga emas, bisnis yang terkait dengan logam berharga ini juga ikut menggeliat. Salah satunya adalah gadai emas. Namun, pagi-pagi Bank Indonesia menangkap potensi bubble di bisnis gadai emas bank syariah. Otoritas perbankan itu menilai, jika kondisi ini tak dikendalikan, dan harga emas merosot, bank syariah bisa terseret dalam masalah besar.
Bisnis gadai meningkat pesat seiring dengan melonjaknya harga emas beberapa tahun terakhir. Pekan ini, harga logam mulia tersebut menembus 1.900 dollar AS per troy ounce, tumbuh 34 persen sepanjang 2011. Kemilau ini merangsang masyarakat berinvestasi di emas dengan berbagai cara, termasuk memanfaatkan fasilitas bank syariah. Skemanya adalah berutang (pembiayaan) dan gadai berjenjang atau berkebun emas.
Menurut pengamatan BI dan Dewan Syariah Nasional (DSN), pembiayaan bank syariah kini lebih banyak di gadai emas. Bahkan, ada beberapa bank yang porsi gadainya mencapai 80 persen dari pembiayaan.
BI khawatir, gelembung ini pecah. Ketika harga emas turun, bank syariah rentan menghadapi gagal bayar. Maklum, pada saat seperti itu, nasabah cenderung membiarkan bank menjual agunan tersebut ketimbang menebus. Bank lalu kehilangan pendapatan dari biaya titip, margin, dan penurunan harga emas. "Jika harga emas anjlok, margin bank tak cukup menutupi kerugian," kata Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah.
Nasabah yang mengemplang bakal merugi. Uang gadai hanya 70-80 persen dari harga emas. Meski demikian, hal itu masih lebih baik ketimbang menebus ketika harga turun. Belum lagi biaya titip. Yang membeli emas dengan cara kredit lebih apes.
Bertolak dari kekhawatiran inilah, BI ingin mengatur bisnis emas bank syariah. Regulasi ini penting untuk melindungi industri dari kerugian. "Kami akan mendiskusikan ini dengan DSN," kata Halim. Ia enggan berkomentar banyak karena masih kajian.
Hasanuddin, Wakil Sekretaris DSN, lebih berani mengungkapkan calon regulasi BI tersebut. Menurut dia, bank sentral akan mematok portofolio gadai emas sebesar 30 persen dari total pembiayaan.
BI perlu mengatur bisnis ini lantaran gadai emas tak lagi untuk memenuhi likuiditas nasabah, tetapi spekulasi. Ini melenceng dari prinsip syariah. "Uangnya di situ-situ saja, tidak berdampak ke ekonomi," katanya.
Direktur Bisnis BRI Syariah Ari Purwandono menilai, wajar masyarakat berduyun-duyun menukar dollar AS, euro, atau investasi lain ke emas. Di tengah ketidakpastian global, emas merupakan instrumen investasi paling aman. Permintaan meningkat, jadi wajar saja harga emas naik. Menurut dia, emas yang dikoleksi masyarakat saat ini bukan untuk berspekulasi, melainkan investasi. "Tak ada kecenderungan bubble," ujar Ari.
Sementara, Kepala UUS Danamon Syariah, D. Prayudha Moelyo, berharap bank bersikap proaktif memitigasi risiko dari bahaya ini. Misalnya, menurunkan loan to value (LTV) gadai emas, atau lebih selektif menyeleksi debitur. "Debitur yang menggadai berulang-ulang perlu diblacklist dulu,” katanya.
Kekhawatiran BI cukup beralasan. Kemarin, harga emas yang melonjak tajam tiba-tiba melorot. Penurunannya pun tak tanggung-tanggung. Harga si kuning anjlok lebih dari 5 persen dalam dua hari, menghapus rekor yang pernah di capai yaitu 1.917,90 dollar AS per ounce.
Begitu juga dengan harga logam mulia Antam. Harga emas batangan sudah melorot menjadi Rp 492.000 per gram pada Kamis (25/8/2011). Sementara, sehari sebelumnya, harga emas batangan Antam sebesar Rp 516.000 per gram. Dengan catatan, jika Anda menjual emas batangan maka harga yang dipakai sebesar Rp 477.000 per gram.
Sumber: kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar