" Efek Perdagangan Bebas "


PERDAGANGAN BEBAS
Merek-merek Lokal Tersingkir



Asosiasi Merek Indonesia meminta pemerintah mengevaluasi perdagangan bebas yang diterapkan Indonesia dengan sejumlah negara. Kebijakan tersebut telah berdampak pada keterpurukan produk lokal. Mereka-merek lokal makin tersingkir dan diganti dengan merek-merek impor.
Demikian disampaikan Ketua Umum Asosiasi Merek Indonesia Putri K Wardani, di Jakarta, Senin (21/11/2011). ”Di tengah kelesuan ekonomi global, Indonesia menjadi incaran banyak negara, seperti China dan India. Sekarang merek-merek lokal sudah tertekan dengan derasnya banjir barang impor,” ujarnya.
Putri mengatakan, nilai impor China ke Indonesia pada 2006 sebesar 8,3 miliar dollar AS. Tahun 2010 melonjak hampir tiga kali lipat menjadi 21,7 miliar dollar AS. ”Tahun ini jumlahnya akan lebih banyak karena di tengah resesi banyak negara yang mengalihkan ekspornya ke Indonesia,” lanjutnya.
Menurut Putri, produk dalam negeri harus menjadi tuan di negeri sendiri. Pemerintah diminta membenahi masalah ini, terutama soal penerapan standar nasional Indonesia (SNI). Pemerintah perlu menerapkan kebijakan nontarif bagi produk impor terkait dengan SNI.
Putri menilai, penerapan SNI saat ini dinilai kurang efektif, terbukti dengan adanya peningkatan tajam atas ”pembelian” SNI oleh perusahaan luar negeri. Pengurusan SNI untuk perusahaan Indonesia terkesan lambat dan tidak tuntas. Penerapan label berbahasa Indonesia juga masih tidak berpihak pada produk dalam negeri. ”Terbukti dengan banyaknya barang impor yang banjir tidak memiliki label berbahasa Indonesia,” paparnya.
Chief Corporate Officer PT Garuda Food Franky Sibarani mengatakan, produk yang paling tertekan pada era perdagangan bebas adalah elektronik karena persaingan yang cukup ketat dengan merek-merek dari China. ”Makanan mungkin masih berdasarkan selera, tetapi kalau elektronik, itu lebih pada keterjangkauan harga,” ujarnya.
Secara terpisah, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, pemerintah akan segera mengevaluasi mekanisme perdagangan bebas yang selama ini diterapkan Indonesia. ”Kita akan mulai fokus pada produk dalam negeri. Kalau bisa, pasar dalam negeri harus diisi dengan barang dalam negeri,” ujarnya.
Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/11/22/07350161/Merek-merek.Lokal.Tersingkir


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

" Dollar AS Diburu, Rupiah Terpuruk "


           Dollar AS Diburu, Rupiah Terpuruk



Nilai tukar mata uang rupiah, Selasa (29/11/2011) pagi, turun 75 poin terhadap dollar AS dipicu masih pesimismenya pelaku pasar terhadap penyelesaian utang eropa dan AS. Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS antarbank Jakarta bergerak turun 75 poin ke posisi Rp 9.180 dibanding hari sebelumnya Rp 9.105.

"Kondisi pasar yang masih bersikap pesimis atas masalah utang Eropa dan ekonomi AS masih menekan rupiah hari ini," kata analis Monex Investindo Futures di Jakarta.

Ia menambahkan, pelaku pasar uang terus melindungi posisi short-dollar. Meski demikian, Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih akan tetap melakukan intervensi untuk melindungi rupiah agar tidak tertekan teralu dalam.

Ia mengatakan, minat resiko sudah mulai meningkat, Bank Indonesia akan mengambil kesempatan untuk melakukan intervensi hari ini untuk mendekatkan mata uang ke kisaran Rp 9.000. "Namun, pelaku pasar masih bersikap waspada, mata uang dalam negeri tampaknya masih bergerak di kisaran sempit," ujar dia.
   
Ia mengatakan, dolar AS menguat terhadap mata uang dunia termasuk rupiah dengan persentase cukup besar yang menyiratkan khawatirnya pelaku pasar dengan kondisi pasar saat ini.

Apalagi, kata dia, harga emas juga tertekan yang menandakan saat ini pelaku pasar memburu dollar AS sebagai "safe haven" seperti yang terjadi pada 2008 lalu.

Ia mengemukakan, beberapa negara di zona euro juga diturunkan peringkat hutangnya seperti Portugal yang diturunkan dari BBB- (triple B minus) menjadi BB+ (double B plus) dengan outlook negatif yang merupakan peringkat "junk" oleh Fitch.

Meski demikian, kata dia, awal pekan ini berhembus isu bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) terlibat pembicaran intensif dengan Italia mengenai kemungkinan pemberian bantuan kepada Italia. "Hal itu tentu saja membawa angin sejuk ke pasar mata uang, tetapi pernyataan dari Moody’s yang meragukan bahwa bantuan IMF dapat menolong Italia segera memberikan sentimen negatif," kata dia.

SUMBER : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/11/29/10561063/Dollar.AS.Diburu.Rupiah.Terpuruk

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Batik Kudus Bersaing dengan Batik "Printing"


Batik Kudus Bersaing dengan Batik "Printing"

Batik merupakan karya budaya yang mewakili identitas Indonesia di tingkat internasional. Ada ribuan jenis dan motif batik yang berkembang di banyak daerah. Salah satunya, jenis batik dengan motif unik dan menarik dari Kudus, Jawa Tengah.

Batik Kudus yang berjaya sejak sekitar tahun 1930 itu memiliki akar sejarah panjang dalam khasanah batik nasional. Sejarah itu di antaranya tergores dalam batik motif Tiga Negeri. Motif batik ini dinilai unik karena pembuatannya dilakukan di tiga negeri (daerah).

Pemakaian warna dalam proses pembatikan dilakukan di tiga daerah berbeda. Warna merah di Lasem, biru di Kudus dan Pekalongan, sedangkan warna Soga dan Hitam di Solo serta Yogyakarta. Sejarah motif Tiga Negeri ini turut menegaskan bahwa Kudus merupakan salah kota bersejarah dalam perjalanan batik di Indonesia.

Sayangnya, batik Kudus kini seolah ditelan bumi karena kurangnya pengenalan masyarakat terhadap batik tersebut. Pengembang batik Kudus, Mirandi Serad Ginanjar mengungkapkan, pengembangan batik Kudus dapat dilakukan dengan memperkenalkan batik dan cara membatik kepada masyarakat luas, khususnya warga Kudus. Namun, upaya pengembangan batik Kudus tersebut bukan tanpa kendala.

Menurut Mirandi, hal yang menjadi kendala saat ini adalah munculnya pesaing dari perusahaan-perusahaan yang memproduksi batik Kudus dengan mesin cetak.

"Yang menghancurkan para perajin, banyaknya pengusaha yang memproduksi dan punya mesin duplek. Terus terang banyak sehingga kita bisa lihat batik-batik printing di mana-mana," kata Mirandi di Kudus, Jawa Tengah, Senin (28/11/2011).

Apalagi, batik Kudus hasil printing tersebut lebih mudah diproduksi dan dijual dengan harga murah. "Lebih halus, lebih murah juga, itu yang kita bikin kecewa," tambah Mirandi.

Meski demikian, Mirandi optimis jika batik Kudus buatan tangan yang diproduksi para pelaku industri rumah tangga mampu bersaing dengan hasil pabrikan. Melalui pagelaran busana dan pameran, Mirandi mulai memperkenalkan batik Kudus di pasaran.

"Salah satunya di World Batik Summit kemarin, batik Kudus tampil dan mendapat perhatian internasional," ucapnya.

Hanya saja, dari segi harga, batik Kudus masih tergolong mahal. Batik yang menyasar kelas menengah ke atas itu ditawarkan di pasaran mulai dari Rp 70 ribu hingga Rp 3 juta.

"Yang Rp 70 ribu itu cap tulis, tentu nya cuma bisa dua warna. Tapi motif dibuat banyak terus," kata Mirandi.

Keunikan batik Kudus

Meski tergolong mahal, lanjutnya, batik asal kota kretek itu tetap diminati. Motif batik Kudus yang unik menjadi daya tarik tersendiri. Sebagai produk yang dihasilkan dari daerah di Jawa yang merupakan pusat perkembangan Islam serta memiliki pengaruh budaya Cina yang kuat, batik Kudus menjadi karya multi kultur.

Selain mengadopsi budaya Cina, batik Kudus juga dipengaruhi budaya Islam. Hal ini tercermin dalam motif batik kudus yang menggunakan huruf-huruf Arab atau kaligrafi, dengan dominasi warna yang cenderung gelap seperti biru tua dan hitam.

Contoh motif batuk Kudus, kata Mirandi, dapat dilihat dari seragam karyawan PT Djarum. Perusahaan rokok asal Kudus itu mendesain seragam karyawannya dengan motif kapal kandas. Motif tersebut diambil dari sejarah Kapal Dampo Awang, Sam Po Kong. Kapal itu milik laksamana Tiongkok beragama Islam bernama Zheng He atau Cheng Ho.

SUMBER : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/11/29/09530964/Batik.Kudus.Bersaing.dengan.Batik.Printing

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

" Landasan Sistem Ekonomi Indonesia "


LANDASAN SISTEM EKONOMI INDONESIA

Secara normatif  landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian maka  sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan  yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia  (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama – bukan kemakmuran orang-seorang).

Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan  merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus.

Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya,  yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.

Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal    UUDS tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan “dikembalikan” ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.

Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.

WILOPO –VS- WIDJOJO
Pancasila hampir-hampir tidak terdengar lagi. Seolah-olah orang Indonesia merasa tidak perlu Pancasila lagi sebagai ideologi negara. Tanpa suatu ideologi  negara yang solid, suatu bangsa tidak akan  memiliki pegangan, akan terombang-ambing tanpa platform nasional yang akan memecah-belah persatuan. Pancasila merupakan “asas bersama” (bukan  “asal tunggal”) bagi pluralisme Indonesia, suatu common denominator yang membentuk kebersamaan.
Sistem Eknomi Pancasila pun hampir-hampir hilang dalam pemikiran ekonomi Indonesia. Bahkan demikian pula Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ideologinya akan dihilangkan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 (terutama Ayat 1-nya) sudah dimulai sejak awal. Yang paling pertama dan monumental adalah perdebatan pada tanggal 23 September 1955 antara Mr. Wilopo, seorang negarawan, dengan Widjojo Nitisastro, mahasiswa tingkat akhir FEUI.
Di dalam perdebatan itu kita bisa memperoleh kesan adanya bibit-bibit untuk ragu meminggirkan liberalisme sebagai peninggalan kolonial serta menolak koperasi sebagai wadah kekuatan rakyat dalam keekonomian nasional, betapapun hanya tersirat secara implisit, dengan memadukan tujuan untuk mencapai “peningkatan pendapatan perkapita” dan sekaligus “pembagian pendapatan yang merata”, sebagaimana (tersurat) dikemukakan oleh Widjojo Nitisastro. 

Di awal penyajiannya dalam debat itu, Widjojo Nitisastro menyatakan adanya ketidaktegasan akan Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945, kemudian mempertanyakannya, apakah ketidaktegasan ini disebabkan oleh “kontradiksi inheren” yang dikandungnya (karena masih mengakui adanya perusahaan swasta yang mengemban semangat liberalisme, di samping perusahaan negara dan koperasi), ataukah karena akibat tafsiran yang kurang tepat. Pertanyaan Widjojo Nitisastro semacam itu sebenarnya tidak perlu ada apabila beliau menyadari makna Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 dan mengkajinya secara mendalam. 

Di samping itu, menurut pendapat saya, Widjojo Nitisastro alpa memperhatikan judul Bab XIV UUD 1945 di mana Pasal 33 (dan Pasal 34) bernaung di dalamnya, yaitu “Kesejahteraan Sosial”, sehingga beliau terdorong untuk lebih tertarik terhadap masalah bentuk-bentuk badan usaha (koperasi, perusahaan negara dan swasta) daripada terhadap masalah ideologi kerakyatan yang dikandung di dalam makna “Kesejahteraan Sosial” itu. Akibatnya beliau alpa pula bahwa yang paling utama berkaitan dengan kesejahteraan sosial adalah “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak” (ayat 2 Pasal 33 UUD), di luar cabang-cabang produksi itu (ditegaskan Bung Hatta) swasta masih memperoleh tempat. 

Terlepas dari itu Widjojo Nitisastro pada tahun 1955 itu telah menekankan pentingnya negara memainkan peran aktif dalam pengendalian dan melaksanakan pembangunan ekonomi (alangkah baiknya apabila kaum Widjojonomics saat ini mengikuti pandangan Widjojo yang dikemukakannya ini, yang saya anggap bagian ini tepat sekali). 

Sementara Mr. Wilopo menangkap ide kerakyatan dan demokrasi ekonomi (istilahnya: mengikuti jalan demokratis untuk memperbaiki nasib rakyat). Beliau mendukung agar negeri ini tidak berdasarkan konsep liberalisme ekonomi sebagai bagian dari pelaksanaan Asas-Asas Dasar (platforms) yang dianut oleh konstitusi kita (UUDS, pen.). Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa “sejak semula sudah diakui bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang muncul dalam UUDS sebagai Pasal 38, memang sangat penting, karena dimaksudkan untuk mengganti asas ekonomi masa lalu (asas ekonomi kolonial, pen.) dengan suatu asas baru (asas ekonomi nasional, yaitu asas kekeluargaan, pen.). 

Dalam berbagai artikel saya telah menindaklanjuti pemikiran Mr. Wilopo ini dengan mengemukakan bahwa Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 merupakan sumber hukum yang perlu kita perhatikan. Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Artinya Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan “asas kekeluargaan” berlaku bagi Indonesia sejak ditetapkan berlakunya UUD 1945, namun tetap masih berlaku pula peraturan perundangan kolonial, tak terkecuali KUHD (Wetboek van Koophandel) yang berasas perorangan (liberalisme). Pasal 33 UUD 1945 berlaku secara permanen, sedang KUHD sebagai akibat Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku secara temporer (transisional). Mereka yang mau memahami pula kedudukan Pasal 33 UUD 1945 dan asas kekeluargaan hendaknya memahami kedudukan peraturan perundangan mengenai keekonomian dalam konteks Aturan Peralihan ini. Artinya, KUHD yang berasas perorangan yang harus di-Pasal 33-kan, bukan Pasal 33 yang harus di-KUHD-kan. 



SUMBER : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_9.htm

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS